BUTUH BELAJAR SEUMUR HIDUP

BUTUH BELAJAR SEUMUR HIDUP

Safrizal M. Arifin, S.Pd.I
Guru SMK Muhammadiyah 5 Jember

as2

Beda antara kewajiban dan kebutuhan, perbedaan ini saya sebut sama tapi beda. Misal saat kita mau ujian skripsi ‘khan hukumnya wajib’ terus kalau kita ingin ke belakang, maka yang kita dahulukan adalah ke belakang, karena walaupun ujian itu penting dan hukumnya wajib, tetapi buang air kecil adalah kebutuhan karena mendesak waktunya apalagi tidak bisa ditunda.

Kalau saya sampaikan wajib itu berhubungan dengan hukum, hukum berhubungan dengan benar dan salah, bisa juga hukum itu berhubungan dengan harus, harus itu berhubungan dengan terpaksa dan terpaksa berhubungan dengan mau tidak mau harus dilakukan.

Sedangkan butuh itu berhubungan dengan keperluan mendasar, terkadang berhubungan dengan hal tidak penting, tetapi tanpa sesuatu hal-hal lain tidak dapat kita peroleh. Sehingga kalau kita butuh, tidak disuruh pun kita dengan senang hati melakukannya.

Pernah kita dengar dengan istilah ‘Wajib Belajar 9 Tahun’ atau ada sebutan lain ‘Wajib Belajar 12 Tahun’ yang dicanangkan oleh pemerintah. Kenapa ada istilah seperti itu, karena tingkat kesadaran masyarakat masih sampai pada tahap belajar sebagai kewajiban yang harus, istilah jawanya ‘kudu’. Mungkin salah satu akibatnya, karena wajibnya hanya 9 tahun, maka sesudah selesai ‘wajib belajar’ itu maka peserta didik pun berhenti belajar…kata orang sunda horee bebas euy….!

Bagaimana kalau wajib belajar 9 tahun itu diubah menjadi ‘Butuh Belajar Seumur Hidup’?? Pasti muncul pro dan kontra, karena itulah karena inilah etc.
Kecenderungan memandang belajar sebagai kewajiban, apalagi dibatasi waktu, membuat kita merasa terbebani menuntaskan dan merasa lega setelah melampaui waktu yang telah ditentukan. Akhirnya membuat kita tidak punya banyak ruang untuk berekspresi.

Memahami belajar sebagai kebutuhan lebih dikedepankan ketimbang belajar sebagai kewajiban, karena kita sering kali terlibat dalam ketentuan-ketentuan yang diwajib-wajibkan. Kadang-kadang peserta didik dibebani dengan kewajiban tuk mengikuti kelas, tetapi jarang terpenuhi kebutuhan akan keingintahuannya.

So…”kewajiban menghasilkan tuntutan, sedangkan kebutuhan menghasilkan tuntunan” (Baban Sarbana). Mengubah kewajiban menjadi kebutuhan sepertinya tidak terlalu sulit, cukup dengan menjadikannya sebagai kebiasaan. “Memang kalau sudah jadi kebiasaan rasanya enak, tidak lagi ada rasa terpaksa untuk melakukan sesuatu”
Salam Sehat dan Semangatnya rekan-rekan dewan guru di grup SMK Mulia Cakru yang selalu punya prinsip “Rame Ing Gawe Sepi Ing Pamrih”

as

MULIA MENDUNIA

www.smkmuliajbr.sch.id

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *